Sep 28, 2007

Aceh Kembali Membuktikan Diri sebagai "Daerah Modal"

BENCANA gempa dan gelombang pasang tsunami yang melanda Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatra Utara (Sumut) telah menyentak kesadaran kemanusiaan kita. Musibah yang terjadi pada Ahad, 26 Desember 2004 itu tidak hanya meluluh-lantakan Aceh dan sebagian Sumut, melainkan juga beberapa negara di kawasan Asia Tenggara lainnya (Malaysia, Myanmar, dan Thailand), Asia Selatan (India, Sri Lanka, dan Maladewa), dan Afrika (Somalia dan Tanzania) dengan total korban jiwa lebih dari 150 ribu orang. Data korban jiwa pun akan terus bertambah mengingat proses evakuasi masih terus dilakukan hingga saat ini. Jumlahnya akan semakin berlipat ketika korban yang tersangkut, tertimbun reruntuhan dan hanyut berhasil dievakuasi. Belum lagi jka kita hitung dengan korban yang hilang tersapu gelombang tsunami serta korban pascagempa yang mengalami luka-luka dan mulai terserang wabah penyakit. Sungguh sangat terusik rasa kesetiakawanan sosial sebagai insan manusia.
Pemerintah segera menetapkan musibah yang melanda daerah Aceh dan sekitarnya sebagai bencana nasional. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan jajaran pembantunya segera bertolak ke Aceh dan menginstruksikan untuk secepat mungkin memobilisasi seluruh sumber dayanya dalam memberikan bantuan kepada korban gempa dan gelombang pasang tsunami tersebut. Sebuah instruksi yang akhirnya mempunyai efek sangat dasyat menggalang rasa solidaritas masyarakat di seluruh Indonesia. Kepekaan sosial bangsa seakan "terjaga" dari mimpi panjang pembangunan yang hanya berorientasi pada infrastruktur fisik dan melupakan infrastruktur fitrah manusia (hati nurani). Kita berharap rasa tanggap yang ditujukan pemerintahan SBY yang diikuti oleh terbangunya solidaritas kolektif pada akhirnya akan memperkuat kepercayaan masyarakat Aceh kepada bangsa ini.
Saat ini kita menyaksikan sebuah pagelaran sesama anak bangsa bahu-membahu berusaha menolong saudaranya dengan segala kemampuan yang ada. Bagai sebuah siklus kerohanian manusia yang kembali muncul, terhimpun dalam pemandangan yang sangat masal, dengan tidak memandang latar belakang suku, agama, ras dan golongan. Dalam hitungan hari saja, miliaran dana berhasil terhimpun, ribuan ton barang berupa makanan, obat-obatan dan pakaian layak pakai pun berhasil dikumpulkan, belum lagi untaian doa yang dibarengi dengan sholat jenazah secara berjamaah oleh umat Islam. Semua itu menjadi pemandangan keseharian kita dalam media pemberitaan baik cetak maupun elektronik. Banyaknya tenaga relawan yang ingin segera diberangkatkan ke Aceh, dengan niat tulus ingin membantu dengan kemampuan yang beraneka ragam, menambah kesempurnaan kelahiran solidaritas manusia Indonesia yang sudah lama kita rindukan.
Bahkan rasa solidaritas ditujukan pula oleh masyarakat internasional dengan memberikan bantuan yang beraneka ragam. Mulai dari dana, obat-obatan, bahan makanan,kantong mayat, paramedis dan aneka ragam bantuan lainnya. Pemerintah AS sendiri merasa perlu memberikan bantuan spare-part pesawat Hercules C130H yang selama ini diembargonya. Kebutuhan pesawat memang dirasakan sanga penting untuk mengangkut bantuan dan evakuasi para korban mengingat jalur darat dan laut tidak bisa dilalui. Respon positif ini kemudian ditindaklanjuti oleh para pemimpin dunia dan lembaga internasional dengan mengadakan Special ASEAN Leaders Meeting on Aftermath of Earthquakes and Tsunamis yang diselenggarakan di Jakarta 6 Januari lalu. Dua agenda penting pertemuan tersebut adalah rencana membangun sistem peringatan awal ntuk menghindari bencana alam dan melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi masyarakat yang berada di pantai Samudera Hindia.
Itulah Aceh, duka yang akhirnya berbalik menjadi rahmat bagi bangsa ini untuk selalu terjaga akan kekhilafannya. Sekarang bagaimana menjadikan hikmah yang terkandung dalam musibah ini menjadi obat mujarab dalam menyembuhkan berbagai penyakit (salah satunya ketumpulan rasa solidaritas) yang telah lama diidapnya. Penyakit yang disebabkan oleh ketamakan pribadi, tercermin dari budaya korupsi yang semakin kronis dan tidak mengenal balas kasihan, mempunyai efek metamorfosis yang berbahaya. Tidak heran jika rasa gotong-royong yang menjadi local genius bangsa ini mengalami degradasi hari demi hari. Mungkin dikemudian hari rasa solidaritas bangsa ini hanya menjadi dongeng menjelang tidur bagi anak cucu kita. Sungguh nyata malapetaka yang akan menimpa bangsa ini dikemudian hari.
Kini Aceh telah membuktikan kembali jati diri sesungguhnya sebagai "Daerah Modal". Istilah yang diberikan Bung Karno itu sangat relevan dengan kondisi sekarang karena Aceh menjadi tumpuan bagi bangsa ini untuk bangkit kembali dari keterpurukan. Jika kita buka lembaran sejarah masa revolusi kemerdekaan, bakti masyarakat Aceh diwujudkan dengan solidaritas penggalangan dana untuk modal perjuangan melawan penjajah Belanda. Dua pesawat Seulawah RI-001 dan Seulawah RI-002 adalah bakti nyata solidaritas rakyat Aceh tersebut. Dari Aceh pulalah bantuan pasukan dan sumbangan logistik yang paling banyak. Sampai-sampai obat untuk Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman, selama hidup dengan satu paru-paru, saat bergelilya di Jawa, juga dikirim dari tanah rencong ini. Untuk perjuangan diplomasi di forum internasional, ternyata sumbangan rakyat Aceh mampu membiayai delegasi Indonesia pimpinan Drs. Mohammad Hatta dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda.
Musibah yang menimpa Aceh dan daerah sekitarnya semakin menegaskan bahwa Aceh menjadi modal untuk menggalang kesadaran kesetiakawanan sosial bangsa yang telah lapuk diterjang berbagai antitesa sifat manusia dan kebudayaan materialisme. Ketidakpedulian akan nasib orang lain dan pertikaian yang menelan korban harta dan jiwa menjadi pemandangan biasa di negeri yang pernah mendapat julukan ramah-tamah ini. Hemat penulis muaranya terletak pada orientasi hidup yang mulai bergeser pada pemenuhan hawa nafsu semata.
Aceh sendiri mejadi daerah yang tidak pernah sepi dari konflik sejak ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1970-an. Puncaknya terjadi ketika Aceh ditetapkan sebagai daerah darurat militer. Maka parade pertikaian merupakan alternatif solusi dalam kebikakan yang diambil dalam menyelesaikan masalah Aceh yang dianggapnya berlarut-larut. Strategi penyelesaian dengan kekerasan bukanlah hal baru bagi rakyat Aceh. Sejak masa kolonialisme, tanah Serambi Mekah merupakan daerah yang pergolakannya paling lama karena sulit ditaklukan oleh Belanda. Sampai-sampai J.B. van Heutsz sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1904-1909 merekrut Dr. C. Snouck Hurgronje (abdul Ghaffar) sebagai penasihatnya dalam operasi militer. Snouck Hurgronje merupakan orientalis yang berusaha mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama menyangkut bidang sosial budayanya.
Luluh-lantaknya Aceh dan sebagian Sumut dengan meninggalkan korban baik hartadan jiwa ternyata meluluh-lantkan sifat-sifat arogansi masyarakat Indonesia. Gambaran bangasa yang toleran, ramah dan memiliki rasa solidaritas tinggi (tercermin dalam budaya gotong-royong) seakan lahir kembali. Raut wajah insan Indonesia seakan merasakanbenar penderitaan yang sedang dirasakan saudara kita di Aceh dan sebagian Sumut. Pemerintah pun akhirnya mencabutstatus darurat sipil di Aceh dengan pertimbangan rasa kemanusiaan yang tinggi tentunya. Kesemua itu merupakan untaian hikmah dan nikmat bagi kita sebagai mahluk yang berakal untuk memetik pelajaran berharga dari kebesaran kekuasaan-Nya. Sudah sepantasnya Aceh menerima tingkat perhatian yang begitu tinggi dari seluruh rakyat Indonesia, terlepas dari musibah yang sekarangterjadi di sana.
Tinggal sekarang bagaimana rasa solidaritas yang muncul dijadikan momentum untuk membangun kepercayaan diri bangsa untuk tidak hanyut pada kesedihan dan keluh-kesah semata. Kita semua berkewajiban menyatukan energi solidaritas ini menjadi kekuatan untuk menggerakan semangat untuk menata kembali baik fasilitas fisik maupun psykis warga Aceh pasca gmpa dan gelombang tsunami. Resultannya adalah perbaikan bangsa dalam jangka panjang untuk mempertinggi martabat dan daya saing bangsa. Wallahu a'alam bisshowab.

Sep 27, 2007

"Ketuhanan Yang Maha Esa" yang Selalu Tergugat

KETUHANAN YANG MAHA ESA. Butir sila pertama Pancasila ini menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia mengakui agama sebagai hal yang sangat utama dalam kehidupan berbangsa. Agama telah dijadikan falsafah bernegara yang tertanam sebagai ideologi. Selanjutnya dalam batang tubuh UUD 1945 agama ditafsirkan lebih lengkap dalam Pasal 29 ayat (2) "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Begitulah republik ini memuliakan keberadaan agama.
Tentunya perjuangan untuk mendapatkan status istimewa itu bukan hal mudah. Soekarno sebagai perumus Pancasila menginginkan keberadaan agama sejajar dengan kebudayaan dalam posisi terakhir dari lima sila yang ada. Bahkan secara lebih ekstrim konsep ketuhanan relatif Soekarno dapat diperas menjadi konsep gotong-royong. Peluang yang sangat menguntungkan ini dimanfaatkan PKI dengan menelurkan konsep kemerdekaan beragama dan kepercayaan. Tidak heran pada perkembangan selanjutnya terjalin hubungan yang harmonis antara Soekarno-PKI.
Bagi kalangan Islam, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah hasil kompromi sementara antara golongan Islam, Nasionalisme dan Kristen-Katolik. Penghapusan "...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dilakukan untuk menolong bangsa Indonesia dalam menghadapi saat kritis dan menentukan dalam perjalanan sejarah. Saat-saat dimana NICA datang untuk mengambil kekuasaan kembali dari tangan Jepang. Ketika saat kritis itu berangsur-angsur normal, kalangan Islam menggugat kembali akan hak Piagam Jakarta, walaupun secara minimal. Perjuangan itu dapat kita lihat dalam sidang lembaga konstituante hasil Pemilu 1955.



Sep 23, 2007

Konflik Wiranto-Prabowo, Demi Kekuasaan

Keberhasilan perjuangan mahasiswa dan berbagai kekuatan lainnya pada 21 Mei 1998 dalam menumbangkan kekuasaan Presiden Soeharto (yang telah berkuasa selama 32 tahun, 7 bulan, 3 minggu) diawali oleh krisis ekonomi sejak 2 Juli 1997, aksi penculikan aktivis proreformasi sejak pertengahdaan Juli 1997 sampai dengan April 1998, tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998, kerusuhan dan penjarahan di Jakarta dan sekitarnya pada 13-15 Mei 1998, dan penolakan empat belas menteri untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi pada 20 Mei 1998.
Peristiwa itu semua semakin memuluskan kejatuhan Soeharto ketika terjadi keretakan internal di tubuh angkatan darat (AD), Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), waktu itu. Keretakan tersebut terlihat pada rivalitas yang terjadi antara Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI (Menhankam/Pangab) Jenderal Wiranto dengan Panglima Komando Strategis dan Cadangan Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Persaingan ini terus menunjukkan peningkatan pasca kerusuhan 13-15 Mei 1998 dan puncaknya terjadi pada 21 Mei 1998, ketika Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. Langkah penting yang mula-mula dilakukan Wiranto setelah Soeharto mundur sebagai presiden adalah menggeser posisi Prabowo Subianto dari jabatan Pangkostrad menjadi Komandan Sekolah dan Staf Komando ABRI (Dansesko) di Bandung pada 25 Mei 1998. Wiranto melantik Letjen Johny Lumintang sebagai Pangkostrad yang baru menggantikan Prabowo Subianto. Tidak selesai sampai di situ, pada 28 Agustus 1998 oleh DKP (Dewan Kehormatan Perwira), bentukan Wiranto, Prabowo Subianto dicopot sebagai Dansesko ABRI. Soal rivalitas ini, mantan Pangdam Jaya Letjen Sjafrie Sjamsoeddin mempunyai pendapat:

“Baik Wiranto maupun Prabowo sama-sama berkuping tipis. Bedanya, Prabowo responsif sedangkan Wiranto defensif. Keduanya juga saling curiga sehingga tidak terjadi interaksi.”

Secara formal, kasus rivalitas antara Wiranto dan Prabowo yang mengarah pada persaingan di antara pimpinan ABRI memang tidak diakui sebagai manifestasi dari ABRI secara kelembagaan. Perseteruan ini, meminjam istilah Salim Said, terjadi secara tertutup dan dilihat sebagai konflik internal militer yang terlemparkan ke atas permukaan. Secara hipotetis, konflik ini muncul karena pola kepemimpinan Soeharto yang secara alamiah menciptakan persaingan di antara orang-orang terdekatnya sendiri. Tujuannya tidak lain untuk mencapai keseimbangan kekuasaan sehingga tidak ada yang terlalu dominan di antara tokoh-tokoh di bawahnya. Mereka harus bersaing menunjukkan loyalitas dalam mencari perhatian dari pusat kekuasaan (baca: Soeharto). Hal senada diungkapkan oleh Donald K. Emerson, yang menurutnya:

…diperlancarnya karir Prabowo secara kilat mungkin mencerminkan bukan saja persetujuan Soeharto, tapi juga kebiasaanya untuk mencegah jangan sampai muncul figur yang kuat yang tidak diimbangi kekuatan figur lain. Figur-figur yang dimagsudkan dalam hubungan ini kiranya adalah Prabowo dan Wiranto, yang saingannya mungkin dianggap Soeharto sebagai faktor penunjang kedudukan presiden sendiri yang di atas keduanya.

Rivalitas yang terjadi antara Wiranto dan Prabowo Subianto sangat penting artinya karena terjadi pada saat penguasa Orde Baru (Orba) sedang mengalami tantangan terbesar sepanjang sejarah Orba. Tantangan tersebut adalah krisis ekonomi yang dialami Indonesia dan regional Asia Tenggara, dimulai di Thailand, menyebabkan tekanan terhadap rupiah yang tadinya sekitar Rp 2.500,00 per dollar AS pada Juli 1997 melonjak menjadi Rp 17.000,00 per dollar AS pada 22 Januari 1998. Krisis ini berkembang menjadi krisis politik dan semakin menggoyahkan rezim Soeharto yang memang legitimasi politiknya sudah semakin melemah. Rezim Soeharto yang telah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa akhirnya jatuh. Sejak saat itu, menurut Eep Saefulloh Fatah, isu adanya dua kubu kuat di tubuh ABRI yang berhadap-hadapan: kubu Wiranto cs di satu sisi dan kubu Prabowo cs di sisi lain, menjadi sebuah wacana umum tentang analisis kejatuhan Soeharto.
Isu tentang adanya kubu-kubu di AD makin menguatkan kebenaran adanya kelompok yang mengarah pada terbentuknya peta ideologis elit militer secara dikotomis dengan latar belakang sektarianisme pada 1990-an, kelompok ABRI Merah-Putih (melambangkan negara kesatuan yang multiagama dan multietnik) dan kelompok ABRI Hijau (melambangkan Islam). Menurut Salim Said, dalam tulisannya mengenai Soeharto dan Militer, munculnya istilah tersebut diawali saat pencalonan Sudharmono sebagai wakil presiden (wapres) pada Sidang Umum MPR 1988. Merasa tidak lagi mendapat dukungan penuh dari militer, maka Soeharto pun mendekati kelompok Islam untuk menjadi mitra barunya dalam membangun kekuasaanya. Pada masa inilah Soeharto merestui dibentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang diketuai oleh Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Prof. B. J. Habibie. Pada masa ini juga terjadi fenomena baru adanya pemimpin militer dari kalangan Islam yang taat. Sebab ABRI, di bawah Presiden Soeharto, senantiasa dipimpin terutama oleh para perwira Jawa dengan latar belakang abangan (Muslim sinkretis) atau para perwira dari kelompok minoritas – secara keagamaan ataupun etnik. Isu adanya golongan ini kabarnya berasal dari kubu Jenderal (Purn.) L.B. Moerdani dan Menhankam Jenderal Edi Sudrajat yang berusaha merebut kembali posisi istimewa ketika terjadi “bulan madu” antara Soeharto dengan L.B. Moerdani pada era 80-an. Mereka membentuk pencitraan diri sebagai kelompok merah putih dan memposisikan lawannya dengan simbol sektarianisme.
Menurut Salim Said lagi, sebenarnya kalau dikaji secara mendalam pada tingkat ideologi, perbedaan ini tidak ada artinya. Bagaimanapun juga tampak jelas terlihat bahwa ideologi sejati para perwira militer Indonesia adalah Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Dwifungsi. Ketidakpercayaan Salim Said tersebut dipertegas pengamat politik Fachry Ali. Menurutnya identitas militer adalah nasionalis. Menyangkut dikotomi yang berkembang di era 90-an. Fachry Ali berpandangan, peta ideologis yang terbentuk di kalangan para perwira militer adalah ABRI Hijau vis a vis ABRI Sekuler. Sekali lagi ini bukan menunjukan pandangan ABRI secara kelembagaan, tetapi pandangan – kalau boleh peneliti istilahkan - “perwira petualang politik” yang saling berhadapan, terutama dari klik yang mengalami marginalisasi para perwira kelompok L.B. Moerdani (peneliti menggunakan istilah de-Benny-isasi) masa Pangab Jenderal Feisal Tanjung dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jendral R. Hartono. Representasi dari konfigurasi kekuatan pada 1998 adalah hadirnya Wiranto dan Prabowo. Situasi yang akhirnya mengancam kekuasaan Soeharto sendiri yang selalu memelihara konflik untuk menjaga keseimbangan di antara keduanya.
Dalam posisi pengkubuan seperti inilah Soeharto mengahadapi krisis politik pada 1998. Soeharto merasa telah ditinggalkan oleh para perwira yang sibuk dengan “usaha konspirasi” – karena adanya momentum - untuk saling menjatuhkan sekaligus saling melempar tanggung jawab terhadap peristiwa yang penuh resiko dan berbahaya, terutama pasca kerusuhan 13-15 Mei 1998. Tidak tertutup kemungkinan di antara “perwira petualang politik” mendapat dukungan kalangan purnawirawan ABRI (yang merasa tersisih dari pusat kekuasaan) “bermain api” dalam menciptakan faktor pemicu (triggering effect) kerusuhan tersebut. Apalagi ketika keinginan Soeharto untuk membentuk lembaga Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.16/1998 gagal dibentuk. Padahal saat itu Pangti ABRI memerintahkan Pangab untuk mengambil segala langkah yang dianggap perlu guna mengatasi kekacauan. Inpres ini dapat juga diartikan, dalam bahasa politik, bahwa lembaga Kopkamtib diizinkan melakukan tindakan represif untuk menstabilkan kondisi yang ada dalam melindungi kekuasaan Soeharto. Karena kita ketahui di bawah kekuasaan Soeharto, militer digunakan untuk memperkuat posisi pemerintah Orba dalam menghadapi berbagai ‘ancaman’ atau ‘gejolak negatif’ yang timbul dalam masyarakat.
Salah satu faktor penting yang menyebabkan Soeharto mampu mengendalikan militer adalah keberhasilannya membangun kekuatan atas militer berdasarkan loyalitas “bapak-anak” Pola yang diterapkan Soeharto di awal 1990-an ini, memberikan gambaran yang jelas bahwa suatu fase (peneliti menyebutnya dengan istilah bapak-isme) pola kepemimpinan dalam menguasai ABRI mulai terbentuk. Dalam hal ini, militer tidak dipandang sebagai kekuatan politik yang mandiri, melainkan mengalami proses politisasi dari pusat kekuasaan dengan cara memberikan perlakuan istimewa kepada para perwira yang loyal dan meminggirkan para penentangnya. Sebagai sebuah contoh sebut saja mantan KSAD Jenderal R. Hartono. Ungkapan bernada loyalis yang menunjukkan dukungan militer yang sangat besar terhadap Presiden Soeharto untuk memenangkan pemilu 1997 melalui Golongan Karya (Golkar) dapat kita lihat pada ucapannya seraya menggunakan jaket kuning Golkar pada 13 Maret 1996, yang menyatakan secara eksplisit bahwa

“setiap anggota ABRI adalah kader Golkar,… serta wajib menerima petunjuk Ketua DPP Golkar, Mbak Tutut”

Oleh karena itu, menjadi sebuah kenyataan dalam fase ini bahwa karir militer seorang perwira akan cemerlang jika semasa memegang tongkat komando menunjukan loyalitas kepada Presiden Soeharto. Selanjutnya Soeharto akan mengangkat perwira tersebut menjadi ajudannya atau minimal berada di lingkungan yang dekat dengannya seperti Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) atau Pasukan Pengawal Pribadi Presiden.
Pola di atas sangat jelas diterapkan Presiden Soeharto di awal 1998. Para perwira tinggi yang terpilih memegang posisi puncak adalah perwira-perwira yang secara pribadi dekat dengannya. Antara lain Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto, lulusan Akademi Militer Nasional (AMN), Lembah Tidar, Magelang angkatan 1968 yang pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto periode 1989-1993; Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto, menantu Soeharto hasil pernikahannya dengan Titiek Soeharto. Dia adalah lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) angkatan 1974 pertama yang menjadi perwira tinggi dan naik ke jabatan kepemimpinan strategis; Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) dipegang oleh Letjen Sugiono, mantan Komandan Paspampres; KSAD Letjen Subagyo HS adalah anggota lingkaran dalam Paspampres dari tahun 1988 hingga 1993; Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Jakarta Raya, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin adalah orang kepercayaan Soeharto dan mantan Komandan Pasukan Pengawal Pribadi Presiden.
Wiranto, Prabowo dan banyak perwira generasi muda lainnya naik ke posisi komando dalam peralihan jabatan pada pertengahan hingga akhir 1997 dan awal 1998. Peralihan tugas ini, menurut Salim Said, penting karena benar-benar merupakan perubahan generasi dalam kepemimpinan Angkatan Bersenjata Indonesia. Kecuali Wiranto, semua yang memperoleh kenaikan jabatan ke berbagai posisi strategis adalah lulusan tahun 1970-an, para perwira yang dianggap tidak banyak berhubungan langsung baik dengan perwira kritis dari generasi 1945 maupun para perwira lulusan awal AMN Magelang.
Dalam fungsinya mereka semua adalah pendukung kekuasaan Soeharto, bukan sebaliknya menjadi penentang kekuasaan Soeharto. Ikatan emosional “bapak-isme” yang muncul dalam relasi semacam itu sangat potensial untuk melindungi presiden dari rival-rival politiknya, baik dari kalangan sipil maupun militer sendiri.

Sep 10, 2007

LOGIKA HIDUP

HIDUP memiliki beragam makna. Hidup di lingkungan kumuh, orang pasti bisa menduga hidupnya akan berakhir dalam kesengsaraan dan kesialan. Logika penjelasan kenapa orang bisa menduga, jelas penglihatan keumuman. Penglihatan real, yang bermuara pada pada penglihatan negara dan kita (jelas) buta, tuli dan mati hati. Kita seakan bergembira melihat jumlah mereka yang terus bertambah hanya karena hidup kita berada sedikit di atas garis rata-rata kesengsaraan mereka.

Dari bangun tidur sampai tidur kembalinya orang miskin kota, yang peduli kepada mereka adalah rasa lapar dan haus, sengatan matahari dan hembusan angin, polusi udara dan debu jalanan, dan petugas trantib yang sengaja dibentuk untuk peduli “mengejar” kaum miskin kota. Tentunya tidak beda dengan kaum miskin desa, malah mereka bisa merasakan kedua kemiskinan ketika urbanisasi.

Terlihat bahwa kemiskinan sebenarnya hasil karya kita sebagai manusia yang “sengaja” menciptakan dan mempertahankannya. Apalagi negara mem-back up semua kemudahan kearah tersebut. Data kemiskinan yang dibuat negara ternyata membenarkan itu semua. Data tersebut misalnya, dipergunakan negara untuk mendapat utang dan keringanan cicilan utang ketika dipublikasikan di forum dunia kaya (kaum neoliberal). Utang didapat rakyat tetap melarat dan dihisap dengan kenaikan beragam pajak. Bahkan negara berkampanye melalui beragam media menyindir hak asasi anak muda yang mau berumah tangga dengan NPWP (mau “Naikin Perempuan” Wajib diPajakin).

Kemiskinan adalah logika hidup. Logika pertahanan kaum kaya yang terus menjaga batas-batas sekaligus invasi kekayaannya.

Sep 8, 2007

Republik mimpi akankah menjadi NYATA??


bicara soal mimpi di republik ini adalah pembicaraan LUAR BIASA. bagaimana tidak, jutaan rakyat di republik ini setiap minggu malam disuguhi tontonan yang bertemakan mimpi. mimpi politik, ekonomi, permasalahan sosial budaya bahkan sampai trio macan pun masuk ke dalam tema mimpi-mimpi Efendi Ghazali, Ph.D dan rekan. tenarlah istilah mimpi di republik ini karena bombastisnya "kantor berita" yang menyampaikan pesan-pesan mimpinya.

mimpi-mimpi yang disampaikan dalam acara tersebut kita ketahui bernada sindiran ke republik sebenarnya. republik yang lebih dari 1/2 abad merdeka dari eksodusnya bangsa belande (kata orang betawi) dan jepang secara besar-besaran (jadi baru itu, merdeka dari banyak hal pastinya belum tuh). republik yang sudah memiliki 6 presiden dalam jangka waktu selama itu. republik yang mempunyai tujuan mulia "kesejahteraan umum/welfare state" tapi baru terwujud dalam mimpi. tidak anehkan kalo bangsa ini emang bangsa pemimpi dan seneng banget klo sudah dibuai sama mimpi-mimpi. please donk ah, klo pinjam kata dari wakil presiden republik mimpi, jangan pindah saluran masih banyak "tema mimpi" yang pastinya bikin geli.

jadi sebenarnya kita nonton acara mimpi di republik super mimpi. mimpi minyak tanah tidak hilang di pasaran, faktanya: hilang. tidak naiknya harga-harga sembako (terutama di bulan ramadhan), dari dulu sampai sekarang, faktanya: mimpi beneran. mimpi korupsi bisa diberantas, kalo ini memang bener-bener mimpi, kalo tidak mimpi banyak pejabat di republik ini yang mati ditiang gantungan (contoh: cina). jadi mana yang bener-bener tidak mimpi? mari kita tunggu gebrakan acara News.com yang tidak bener-bener mimpi.

Sep 5, 2007

"harga sebuah diri di republik ini"




siapa diri kita? kenal g kita terhadap diri ini? berapa sih harga diri?

tiga pertanyaan dasar sengaja gw lontarkan untuk mengelitik diri-diri yang telah lupa akan dirinya. termasuk diri gw tentunya. ya memang disekitar diri ini ada diri-diri yang laen, termasuk diri yang merasa dirinya paling diri.

diri gw dan diri lo semua memiliki beragam diri ketika berada dalam komunitas diri. komunitas diri miskin misalnya, coba lo perhatiin posisi dirinya selalu ga jauh dari kesengsaraan diri, buat dapetin minyak tanah aja harus rela jual harga diri (mau sukur ga mau ya gpp, masih banyak ko yang mau beli antri, walah..).

ini jelas beda dengan komunitas diri kaya, lingkungannya penuh dengan kemanjaan diri. tak jarang mereka merampas diri orang lain demi keuntungan diri sendiri. sukur-sukur mereka ga sampe lupa diri.

sedikit renungan....emang bener apa diri ini beda? di republik ini (yang katanya pancasilais) ya buktinya realita mengatakan demikian. padahal Sang Pemilik Diri ga pernah menciptakan diri-diri yang beda. jadi siapa yang sok tau jadi lebih-DIRI dari diri yang lain?