Sep 23, 2007

Konflik Wiranto-Prabowo, Demi Kekuasaan

Keberhasilan perjuangan mahasiswa dan berbagai kekuatan lainnya pada 21 Mei 1998 dalam menumbangkan kekuasaan Presiden Soeharto (yang telah berkuasa selama 32 tahun, 7 bulan, 3 minggu) diawali oleh krisis ekonomi sejak 2 Juli 1997, aksi penculikan aktivis proreformasi sejak pertengahdaan Juli 1997 sampai dengan April 1998, tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998, kerusuhan dan penjarahan di Jakarta dan sekitarnya pada 13-15 Mei 1998, dan penolakan empat belas menteri untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi pada 20 Mei 1998.
Peristiwa itu semua semakin memuluskan kejatuhan Soeharto ketika terjadi keretakan internal di tubuh angkatan darat (AD), Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), waktu itu. Keretakan tersebut terlihat pada rivalitas yang terjadi antara Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI (Menhankam/Pangab) Jenderal Wiranto dengan Panglima Komando Strategis dan Cadangan Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Persaingan ini terus menunjukkan peningkatan pasca kerusuhan 13-15 Mei 1998 dan puncaknya terjadi pada 21 Mei 1998, ketika Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. Langkah penting yang mula-mula dilakukan Wiranto setelah Soeharto mundur sebagai presiden adalah menggeser posisi Prabowo Subianto dari jabatan Pangkostrad menjadi Komandan Sekolah dan Staf Komando ABRI (Dansesko) di Bandung pada 25 Mei 1998. Wiranto melantik Letjen Johny Lumintang sebagai Pangkostrad yang baru menggantikan Prabowo Subianto. Tidak selesai sampai di situ, pada 28 Agustus 1998 oleh DKP (Dewan Kehormatan Perwira), bentukan Wiranto, Prabowo Subianto dicopot sebagai Dansesko ABRI. Soal rivalitas ini, mantan Pangdam Jaya Letjen Sjafrie Sjamsoeddin mempunyai pendapat:

“Baik Wiranto maupun Prabowo sama-sama berkuping tipis. Bedanya, Prabowo responsif sedangkan Wiranto defensif. Keduanya juga saling curiga sehingga tidak terjadi interaksi.”

Secara formal, kasus rivalitas antara Wiranto dan Prabowo yang mengarah pada persaingan di antara pimpinan ABRI memang tidak diakui sebagai manifestasi dari ABRI secara kelembagaan. Perseteruan ini, meminjam istilah Salim Said, terjadi secara tertutup dan dilihat sebagai konflik internal militer yang terlemparkan ke atas permukaan. Secara hipotetis, konflik ini muncul karena pola kepemimpinan Soeharto yang secara alamiah menciptakan persaingan di antara orang-orang terdekatnya sendiri. Tujuannya tidak lain untuk mencapai keseimbangan kekuasaan sehingga tidak ada yang terlalu dominan di antara tokoh-tokoh di bawahnya. Mereka harus bersaing menunjukkan loyalitas dalam mencari perhatian dari pusat kekuasaan (baca: Soeharto). Hal senada diungkapkan oleh Donald K. Emerson, yang menurutnya:

…diperlancarnya karir Prabowo secara kilat mungkin mencerminkan bukan saja persetujuan Soeharto, tapi juga kebiasaanya untuk mencegah jangan sampai muncul figur yang kuat yang tidak diimbangi kekuatan figur lain. Figur-figur yang dimagsudkan dalam hubungan ini kiranya adalah Prabowo dan Wiranto, yang saingannya mungkin dianggap Soeharto sebagai faktor penunjang kedudukan presiden sendiri yang di atas keduanya.

Rivalitas yang terjadi antara Wiranto dan Prabowo Subianto sangat penting artinya karena terjadi pada saat penguasa Orde Baru (Orba) sedang mengalami tantangan terbesar sepanjang sejarah Orba. Tantangan tersebut adalah krisis ekonomi yang dialami Indonesia dan regional Asia Tenggara, dimulai di Thailand, menyebabkan tekanan terhadap rupiah yang tadinya sekitar Rp 2.500,00 per dollar AS pada Juli 1997 melonjak menjadi Rp 17.000,00 per dollar AS pada 22 Januari 1998. Krisis ini berkembang menjadi krisis politik dan semakin menggoyahkan rezim Soeharto yang memang legitimasi politiknya sudah semakin melemah. Rezim Soeharto yang telah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa akhirnya jatuh. Sejak saat itu, menurut Eep Saefulloh Fatah, isu adanya dua kubu kuat di tubuh ABRI yang berhadap-hadapan: kubu Wiranto cs di satu sisi dan kubu Prabowo cs di sisi lain, menjadi sebuah wacana umum tentang analisis kejatuhan Soeharto.
Isu tentang adanya kubu-kubu di AD makin menguatkan kebenaran adanya kelompok yang mengarah pada terbentuknya peta ideologis elit militer secara dikotomis dengan latar belakang sektarianisme pada 1990-an, kelompok ABRI Merah-Putih (melambangkan negara kesatuan yang multiagama dan multietnik) dan kelompok ABRI Hijau (melambangkan Islam). Menurut Salim Said, dalam tulisannya mengenai Soeharto dan Militer, munculnya istilah tersebut diawali saat pencalonan Sudharmono sebagai wakil presiden (wapres) pada Sidang Umum MPR 1988. Merasa tidak lagi mendapat dukungan penuh dari militer, maka Soeharto pun mendekati kelompok Islam untuk menjadi mitra barunya dalam membangun kekuasaanya. Pada masa inilah Soeharto merestui dibentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang diketuai oleh Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Prof. B. J. Habibie. Pada masa ini juga terjadi fenomena baru adanya pemimpin militer dari kalangan Islam yang taat. Sebab ABRI, di bawah Presiden Soeharto, senantiasa dipimpin terutama oleh para perwira Jawa dengan latar belakang abangan (Muslim sinkretis) atau para perwira dari kelompok minoritas – secara keagamaan ataupun etnik. Isu adanya golongan ini kabarnya berasal dari kubu Jenderal (Purn.) L.B. Moerdani dan Menhankam Jenderal Edi Sudrajat yang berusaha merebut kembali posisi istimewa ketika terjadi “bulan madu” antara Soeharto dengan L.B. Moerdani pada era 80-an. Mereka membentuk pencitraan diri sebagai kelompok merah putih dan memposisikan lawannya dengan simbol sektarianisme.
Menurut Salim Said lagi, sebenarnya kalau dikaji secara mendalam pada tingkat ideologi, perbedaan ini tidak ada artinya. Bagaimanapun juga tampak jelas terlihat bahwa ideologi sejati para perwira militer Indonesia adalah Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Dwifungsi. Ketidakpercayaan Salim Said tersebut dipertegas pengamat politik Fachry Ali. Menurutnya identitas militer adalah nasionalis. Menyangkut dikotomi yang berkembang di era 90-an. Fachry Ali berpandangan, peta ideologis yang terbentuk di kalangan para perwira militer adalah ABRI Hijau vis a vis ABRI Sekuler. Sekali lagi ini bukan menunjukan pandangan ABRI secara kelembagaan, tetapi pandangan – kalau boleh peneliti istilahkan - “perwira petualang politik” yang saling berhadapan, terutama dari klik yang mengalami marginalisasi para perwira kelompok L.B. Moerdani (peneliti menggunakan istilah de-Benny-isasi) masa Pangab Jenderal Feisal Tanjung dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jendral R. Hartono. Representasi dari konfigurasi kekuatan pada 1998 adalah hadirnya Wiranto dan Prabowo. Situasi yang akhirnya mengancam kekuasaan Soeharto sendiri yang selalu memelihara konflik untuk menjaga keseimbangan di antara keduanya.
Dalam posisi pengkubuan seperti inilah Soeharto mengahadapi krisis politik pada 1998. Soeharto merasa telah ditinggalkan oleh para perwira yang sibuk dengan “usaha konspirasi” – karena adanya momentum - untuk saling menjatuhkan sekaligus saling melempar tanggung jawab terhadap peristiwa yang penuh resiko dan berbahaya, terutama pasca kerusuhan 13-15 Mei 1998. Tidak tertutup kemungkinan di antara “perwira petualang politik” mendapat dukungan kalangan purnawirawan ABRI (yang merasa tersisih dari pusat kekuasaan) “bermain api” dalam menciptakan faktor pemicu (triggering effect) kerusuhan tersebut. Apalagi ketika keinginan Soeharto untuk membentuk lembaga Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.16/1998 gagal dibentuk. Padahal saat itu Pangti ABRI memerintahkan Pangab untuk mengambil segala langkah yang dianggap perlu guna mengatasi kekacauan. Inpres ini dapat juga diartikan, dalam bahasa politik, bahwa lembaga Kopkamtib diizinkan melakukan tindakan represif untuk menstabilkan kondisi yang ada dalam melindungi kekuasaan Soeharto. Karena kita ketahui di bawah kekuasaan Soeharto, militer digunakan untuk memperkuat posisi pemerintah Orba dalam menghadapi berbagai ‘ancaman’ atau ‘gejolak negatif’ yang timbul dalam masyarakat.
Salah satu faktor penting yang menyebabkan Soeharto mampu mengendalikan militer adalah keberhasilannya membangun kekuatan atas militer berdasarkan loyalitas “bapak-anak” Pola yang diterapkan Soeharto di awal 1990-an ini, memberikan gambaran yang jelas bahwa suatu fase (peneliti menyebutnya dengan istilah bapak-isme) pola kepemimpinan dalam menguasai ABRI mulai terbentuk. Dalam hal ini, militer tidak dipandang sebagai kekuatan politik yang mandiri, melainkan mengalami proses politisasi dari pusat kekuasaan dengan cara memberikan perlakuan istimewa kepada para perwira yang loyal dan meminggirkan para penentangnya. Sebagai sebuah contoh sebut saja mantan KSAD Jenderal R. Hartono. Ungkapan bernada loyalis yang menunjukkan dukungan militer yang sangat besar terhadap Presiden Soeharto untuk memenangkan pemilu 1997 melalui Golongan Karya (Golkar) dapat kita lihat pada ucapannya seraya menggunakan jaket kuning Golkar pada 13 Maret 1996, yang menyatakan secara eksplisit bahwa

“setiap anggota ABRI adalah kader Golkar,… serta wajib menerima petunjuk Ketua DPP Golkar, Mbak Tutut”

Oleh karena itu, menjadi sebuah kenyataan dalam fase ini bahwa karir militer seorang perwira akan cemerlang jika semasa memegang tongkat komando menunjukan loyalitas kepada Presiden Soeharto. Selanjutnya Soeharto akan mengangkat perwira tersebut menjadi ajudannya atau minimal berada di lingkungan yang dekat dengannya seperti Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) atau Pasukan Pengawal Pribadi Presiden.
Pola di atas sangat jelas diterapkan Presiden Soeharto di awal 1998. Para perwira tinggi yang terpilih memegang posisi puncak adalah perwira-perwira yang secara pribadi dekat dengannya. Antara lain Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto, lulusan Akademi Militer Nasional (AMN), Lembah Tidar, Magelang angkatan 1968 yang pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto periode 1989-1993; Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto, menantu Soeharto hasil pernikahannya dengan Titiek Soeharto. Dia adalah lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) angkatan 1974 pertama yang menjadi perwira tinggi dan naik ke jabatan kepemimpinan strategis; Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) dipegang oleh Letjen Sugiono, mantan Komandan Paspampres; KSAD Letjen Subagyo HS adalah anggota lingkaran dalam Paspampres dari tahun 1988 hingga 1993; Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Jakarta Raya, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin adalah orang kepercayaan Soeharto dan mantan Komandan Pasukan Pengawal Pribadi Presiden.
Wiranto, Prabowo dan banyak perwira generasi muda lainnya naik ke posisi komando dalam peralihan jabatan pada pertengahan hingga akhir 1997 dan awal 1998. Peralihan tugas ini, menurut Salim Said, penting karena benar-benar merupakan perubahan generasi dalam kepemimpinan Angkatan Bersenjata Indonesia. Kecuali Wiranto, semua yang memperoleh kenaikan jabatan ke berbagai posisi strategis adalah lulusan tahun 1970-an, para perwira yang dianggap tidak banyak berhubungan langsung baik dengan perwira kritis dari generasi 1945 maupun para perwira lulusan awal AMN Magelang.
Dalam fungsinya mereka semua adalah pendukung kekuasaan Soeharto, bukan sebaliknya menjadi penentang kekuasaan Soeharto. Ikatan emosional “bapak-isme” yang muncul dalam relasi semacam itu sangat potensial untuk melindungi presiden dari rival-rival politiknya, baik dari kalangan sipil maupun militer sendiri.

No comments: