Sep 28, 2007

Aceh Kembali Membuktikan Diri sebagai "Daerah Modal"

BENCANA gempa dan gelombang pasang tsunami yang melanda Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatra Utara (Sumut) telah menyentak kesadaran kemanusiaan kita. Musibah yang terjadi pada Ahad, 26 Desember 2004 itu tidak hanya meluluh-lantakan Aceh dan sebagian Sumut, melainkan juga beberapa negara di kawasan Asia Tenggara lainnya (Malaysia, Myanmar, dan Thailand), Asia Selatan (India, Sri Lanka, dan Maladewa), dan Afrika (Somalia dan Tanzania) dengan total korban jiwa lebih dari 150 ribu orang. Data korban jiwa pun akan terus bertambah mengingat proses evakuasi masih terus dilakukan hingga saat ini. Jumlahnya akan semakin berlipat ketika korban yang tersangkut, tertimbun reruntuhan dan hanyut berhasil dievakuasi. Belum lagi jka kita hitung dengan korban yang hilang tersapu gelombang tsunami serta korban pascagempa yang mengalami luka-luka dan mulai terserang wabah penyakit. Sungguh sangat terusik rasa kesetiakawanan sosial sebagai insan manusia.
Pemerintah segera menetapkan musibah yang melanda daerah Aceh dan sekitarnya sebagai bencana nasional. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan jajaran pembantunya segera bertolak ke Aceh dan menginstruksikan untuk secepat mungkin memobilisasi seluruh sumber dayanya dalam memberikan bantuan kepada korban gempa dan gelombang pasang tsunami tersebut. Sebuah instruksi yang akhirnya mempunyai efek sangat dasyat menggalang rasa solidaritas masyarakat di seluruh Indonesia. Kepekaan sosial bangsa seakan "terjaga" dari mimpi panjang pembangunan yang hanya berorientasi pada infrastruktur fisik dan melupakan infrastruktur fitrah manusia (hati nurani). Kita berharap rasa tanggap yang ditujukan pemerintahan SBY yang diikuti oleh terbangunya solidaritas kolektif pada akhirnya akan memperkuat kepercayaan masyarakat Aceh kepada bangsa ini.
Saat ini kita menyaksikan sebuah pagelaran sesama anak bangsa bahu-membahu berusaha menolong saudaranya dengan segala kemampuan yang ada. Bagai sebuah siklus kerohanian manusia yang kembali muncul, terhimpun dalam pemandangan yang sangat masal, dengan tidak memandang latar belakang suku, agama, ras dan golongan. Dalam hitungan hari saja, miliaran dana berhasil terhimpun, ribuan ton barang berupa makanan, obat-obatan dan pakaian layak pakai pun berhasil dikumpulkan, belum lagi untaian doa yang dibarengi dengan sholat jenazah secara berjamaah oleh umat Islam. Semua itu menjadi pemandangan keseharian kita dalam media pemberitaan baik cetak maupun elektronik. Banyaknya tenaga relawan yang ingin segera diberangkatkan ke Aceh, dengan niat tulus ingin membantu dengan kemampuan yang beraneka ragam, menambah kesempurnaan kelahiran solidaritas manusia Indonesia yang sudah lama kita rindukan.
Bahkan rasa solidaritas ditujukan pula oleh masyarakat internasional dengan memberikan bantuan yang beraneka ragam. Mulai dari dana, obat-obatan, bahan makanan,kantong mayat, paramedis dan aneka ragam bantuan lainnya. Pemerintah AS sendiri merasa perlu memberikan bantuan spare-part pesawat Hercules C130H yang selama ini diembargonya. Kebutuhan pesawat memang dirasakan sanga penting untuk mengangkut bantuan dan evakuasi para korban mengingat jalur darat dan laut tidak bisa dilalui. Respon positif ini kemudian ditindaklanjuti oleh para pemimpin dunia dan lembaga internasional dengan mengadakan Special ASEAN Leaders Meeting on Aftermath of Earthquakes and Tsunamis yang diselenggarakan di Jakarta 6 Januari lalu. Dua agenda penting pertemuan tersebut adalah rencana membangun sistem peringatan awal ntuk menghindari bencana alam dan melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi masyarakat yang berada di pantai Samudera Hindia.
Itulah Aceh, duka yang akhirnya berbalik menjadi rahmat bagi bangsa ini untuk selalu terjaga akan kekhilafannya. Sekarang bagaimana menjadikan hikmah yang terkandung dalam musibah ini menjadi obat mujarab dalam menyembuhkan berbagai penyakit (salah satunya ketumpulan rasa solidaritas) yang telah lama diidapnya. Penyakit yang disebabkan oleh ketamakan pribadi, tercermin dari budaya korupsi yang semakin kronis dan tidak mengenal balas kasihan, mempunyai efek metamorfosis yang berbahaya. Tidak heran jika rasa gotong-royong yang menjadi local genius bangsa ini mengalami degradasi hari demi hari. Mungkin dikemudian hari rasa solidaritas bangsa ini hanya menjadi dongeng menjelang tidur bagi anak cucu kita. Sungguh nyata malapetaka yang akan menimpa bangsa ini dikemudian hari.
Kini Aceh telah membuktikan kembali jati diri sesungguhnya sebagai "Daerah Modal". Istilah yang diberikan Bung Karno itu sangat relevan dengan kondisi sekarang karena Aceh menjadi tumpuan bagi bangsa ini untuk bangkit kembali dari keterpurukan. Jika kita buka lembaran sejarah masa revolusi kemerdekaan, bakti masyarakat Aceh diwujudkan dengan solidaritas penggalangan dana untuk modal perjuangan melawan penjajah Belanda. Dua pesawat Seulawah RI-001 dan Seulawah RI-002 adalah bakti nyata solidaritas rakyat Aceh tersebut. Dari Aceh pulalah bantuan pasukan dan sumbangan logistik yang paling banyak. Sampai-sampai obat untuk Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman, selama hidup dengan satu paru-paru, saat bergelilya di Jawa, juga dikirim dari tanah rencong ini. Untuk perjuangan diplomasi di forum internasional, ternyata sumbangan rakyat Aceh mampu membiayai delegasi Indonesia pimpinan Drs. Mohammad Hatta dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda.
Musibah yang menimpa Aceh dan daerah sekitarnya semakin menegaskan bahwa Aceh menjadi modal untuk menggalang kesadaran kesetiakawanan sosial bangsa yang telah lapuk diterjang berbagai antitesa sifat manusia dan kebudayaan materialisme. Ketidakpedulian akan nasib orang lain dan pertikaian yang menelan korban harta dan jiwa menjadi pemandangan biasa di negeri yang pernah mendapat julukan ramah-tamah ini. Hemat penulis muaranya terletak pada orientasi hidup yang mulai bergeser pada pemenuhan hawa nafsu semata.
Aceh sendiri mejadi daerah yang tidak pernah sepi dari konflik sejak ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1970-an. Puncaknya terjadi ketika Aceh ditetapkan sebagai daerah darurat militer. Maka parade pertikaian merupakan alternatif solusi dalam kebikakan yang diambil dalam menyelesaikan masalah Aceh yang dianggapnya berlarut-larut. Strategi penyelesaian dengan kekerasan bukanlah hal baru bagi rakyat Aceh. Sejak masa kolonialisme, tanah Serambi Mekah merupakan daerah yang pergolakannya paling lama karena sulit ditaklukan oleh Belanda. Sampai-sampai J.B. van Heutsz sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1904-1909 merekrut Dr. C. Snouck Hurgronje (abdul Ghaffar) sebagai penasihatnya dalam operasi militer. Snouck Hurgronje merupakan orientalis yang berusaha mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama menyangkut bidang sosial budayanya.
Luluh-lantaknya Aceh dan sebagian Sumut dengan meninggalkan korban baik hartadan jiwa ternyata meluluh-lantkan sifat-sifat arogansi masyarakat Indonesia. Gambaran bangasa yang toleran, ramah dan memiliki rasa solidaritas tinggi (tercermin dalam budaya gotong-royong) seakan lahir kembali. Raut wajah insan Indonesia seakan merasakanbenar penderitaan yang sedang dirasakan saudara kita di Aceh dan sebagian Sumut. Pemerintah pun akhirnya mencabutstatus darurat sipil di Aceh dengan pertimbangan rasa kemanusiaan yang tinggi tentunya. Kesemua itu merupakan untaian hikmah dan nikmat bagi kita sebagai mahluk yang berakal untuk memetik pelajaran berharga dari kebesaran kekuasaan-Nya. Sudah sepantasnya Aceh menerima tingkat perhatian yang begitu tinggi dari seluruh rakyat Indonesia, terlepas dari musibah yang sekarangterjadi di sana.
Tinggal sekarang bagaimana rasa solidaritas yang muncul dijadikan momentum untuk membangun kepercayaan diri bangsa untuk tidak hanyut pada kesedihan dan keluh-kesah semata. Kita semua berkewajiban menyatukan energi solidaritas ini menjadi kekuatan untuk menggerakan semangat untuk menata kembali baik fasilitas fisik maupun psykis warga Aceh pasca gmpa dan gelombang tsunami. Resultannya adalah perbaikan bangsa dalam jangka panjang untuk mempertinggi martabat dan daya saing bangsa. Wallahu a'alam bisshowab.